top of page
Search
  • Writer's pictureFransiska Septi Ariani

TOXIC RELATIONSHIP (OPINI) oleh Fransiska Septi Ariani

Sejak kecil sampai dewasa setiap manusia baik secara sadar maupun tidak sadar sudah diajarkan mengenal ‘apa itu cinta’. Mereka bertumbuh dan berproses sejak mulai merasakan makna dari cinta. Cinta yang dimaksud di sini seperti cinta kepada Tuhan, orang tua, diri sendiri, sahabat dan sebagainya. Namun seiring perkembangan dan pertumbuhannya, manusia baik yang bergenre laki-laki ataupun perempuan akan mengimplementasikan ‘makna cinta’ dengan cara yang berbeda. Mereka cenderung akan menjalin hubungan antara lawan jenis yang biasa kita sebut dengan kata ‘pacaran’. Tetapi tanpa kita sadari tidak semua hubungan yang dijalin oleh sepasang kekasih merupakan hubungan yang sehat. Anak zaman sekarang akan lebih mengenalnya dengan ungkapan toxic relationship.

Menurut Sternberg (1988), cinta sendiri memiliki teori yang dikenal sebagai teori segitiga cinta. Dalam teori tersebut, Sternberg membagi cinta menjadi tiga komponen, yaitu keakraban atau keintiman (intimacy), gairah (passion), dan keputusan/komitmen (decision/commitment). Sedangkan, toxic relationship merupakan hubungan yang tidak lagi menyenangkan. Hubungan ini cenderung merugikan dan memberi pengaruh buruk pada salah satu pihak sebab adanya berbagai permasalahan, sehingga hal tersebut berpotensi untuk merusak diri baik dari segi psikis maupun fisik. Toxic relationship sendiri akan terjadi apabila salah satu dari teori segitiga cinta tersebut tidak dapat disiasati dengan baik.

Menurut hasil survey yang telah saya lakukan, sebanyak 80,3% remaja masa kini pernah berada dalam lingkaran toxic relationship. Permasalahan yang mereka hadapi pun memiliki tingkatan yang bisa dikatakan bermacam-macam. Mulai dari sikap yang masih bisa ditoleransi hingga perilaku yang sudah sangat fatal untuk bisa terjadi dalam sebuah hubungan. Realitanya, semua permasalahan yang ada itu berkaitan dengan tidak terealisasinya teori segitiga cinta dengan baik.

Saya akan menjabarkan satu per satu. Yang pertama yaitu teori keakraban. Teori ini memiliki definisi sebuah keinginan peningkatan dalam kedekatan, keterikatan dan semua yang berkaitan dengan pasangan. Dalam teori ini, tidak jarang masih banyak yang menyalahartikan maknanya. Hal yang biasa terjadi saat menjalin sebuah hubungan yaitu ketika salah satu dari mereka tidak sabar untuk bisa menjadi lebih dekat lagi daripada sebelumnya, lebih terikat lagi daripada sebelumnya dan lebih mengetahui semua yang berkaitan dengan pasangannya. Maka dari itu, disinilah titik masalah yang pertama bisa menghadirkan sebuah sebutan toxic relationship.

Ada saja manusia yang secara tidak langsung melakukan tindakan pemaksaan agar teori keakraban tersebut dapat terjadi sesegera mungkin dalam waktu yang singkat. Mereka cenderung melakukan sikap over protektif dan over posesif kepada pasangannya. Sebuah sikap yang dapat memicu keretakan pada hubungannya sendiri apabila sudah melewati batas wajar. Alasan tersembunyi atas apa yang mereka lakukan itu biasanya karena mereka tidak memiliki rasa kepercayaan diri baik kepada dirinya sendiri maupun kekasihnya.

Di sisi lain terdapat teori gairah. Salah satu teori penunjang atas sebuah kata cinta. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam menjalin sebuah hubungan, manusia pasti butuh untuk mengekspresikan hasratnya atau kebutuhan seksualnya. Namun, dalam kehidupan, teori ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah menjalin hubungan sah dimata agama, negara serta hukum.

Yang menjadi titik permasalahan selanjutnya yaitu ternyata realita yang terjadi sangatlah berbanding terbalik. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat menjalin hubungan salah satu dari mereka memiliki keinginan untuk memuaskan hasratnya. Mereka akan mengajak kekasihnya untuk melakukan having sex. Apabila kemauannya tersebut tidak dituruti, maka mereka akan melakukan beragam cara untuk memanipulasi, seperti silent treatment, guilt trip, hingga playing victim. Sehingga mau tidak mau pasangannya yang sebelumnya menolak permintaan tersebut akan menjadi berubah pikiran karena merasa takut kehilangan.

Sedikit informasi bagi para pembaca, silent treatment merupakan tindakan emosional dengan bersikap dingin, marah, menghindar serta mendiamkan seseorang hingga argumen yang ia miliki benar-benar terjadi. Guilt trip merupakan tindakan mengontrol sikap seseorang dengan menanamkan perasaan bersalah atas sikap yang telah ia lakukan. Sedangkan playing victim merupakan tindakan di mana seseorang akan mengubah alur cerita yang ada dengan bersikap seolah-olah dia adalah korban.

Teori terakhir dari segitiga cinta yaitu keputusan/komitmen. Teori ini menginterpretasikan suatu keputusan untuk selalu menghadapi kesulitan dan memperbaiki hubungan secara bersama-sama agar hubungan yang dimiliki dapat bertahan dengan jangka waktu yang lama. Permasalahan yang kerap terjadi dalam teori ini yaitu adanya pengambilan keputusan secara sepihak. Bahkan masih ada saja laki-laki yang masih memegang teguh budaya patriarki. Budaya yang membuat laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah hubungan. Sehingga sering kali pihak perempuannya tidak memiliki hak untuk bersuara. Seperti cerita dari salah satu narasumber saya yang berniat untuk menyudahi hubungan diantara mereka, tetapi ditentang oleh kekasihnya. Mereka akan terus menggunakan sikap patriarki tersebut. Bahkan ia bukan hanya meninggalkan kekerasan psikis, namun ia juga berani sampai melakukan tidakan kekerasan yang merusak fisik kekasihnya hingga mengalami sesak napas sampai pendarahan. Namun pada akhirnya, semua hal yang terjadi oleh narasumber saya ini telah berlalu dan semua permasalahan sudah terselesaikan.

Menanggapi berbagai permasalahan dalam toxic relationship tersebut, 48 dari 61 orang hasil survey saya memilih untuk move on demi keselamatan juga kesehatan mental dan raganya sendiri. Sedangkan sisanya masih memilih untuk tetap bertahan dengan beberapa alasan, diantaranya: sudah terlanjur mendapat restu dari orang tua, menganggap bahwa kesalahan suatu hal yang wajar dan percaya bahwa pasangannya akan berubah menjadi lebih baik untuk kedepannya.

Saya berharap dengan adanya esai ini bisa membuat kita semua lebih berhati-hati dalam menjalin sebuah hubungan, dan jangan sampai masuk ke dalam lingkaran toxic relationship. Menurut pandangan saya, Tindakan terbaik ketika kita terlanjut memasuki lingkaran tersebut ialah dengan terus berusaha mencari solusi terbaik. Apabila menurutmu semua sikap dan Tindakan yang diperbuat masih dalam batas wajar atau tidak. Jika tidak, jangan pernah sekali-sekali kamu menormalisasikan hal yang tidak seharusnya. Bertahan dalam sebuah hubungan memang bukanlah sebuah kesalahan, tetapi bila kamu bertahan hanya demi menyelamatkan kerusakan hubungan demi keutuhan, maka kamu sudah mengambil langkah yang salah. Kuncinya hanya satu, yaitu jangan pernah takut untuk berpikir cerdas. Sebab kehidupan merupakan proses perjalanan yang dapat berkembang menjadi pengalaman. Akhiri, sesali, pelajari dan bangkit lagi adalah alurnya.


Referensi

Marasabessy, Rismawati. (2008). Perbedaan Cinta berdasarkan Teori Segitiga Cinta Sternberg antara Wanita dengan Pria Masa Dewasa Awal. Universitas Gunadarma. https://oldsite.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Artikel_10503160.pdf

Pijarpsikologi.org. (2017). Toxic Relationship : Ketika Sebuah Hubungan Tidak Lagi Menghubungkan. https://pijarpsikologi.org/toxic-relationship-ketika-sebuah-hubungan-tidak-lagi-menghubungkan/

6 views0 comments
Post: Blog2_Post
bottom of page